Sunday, January 31, 2016

Mengamati Fenomena LGBT dari Sudut Pandang Kemanusiaan



Fenomena LGBT akhir-akhir ini menghangat, terlebih sejak beberapa negara di Eropa sana melegalkan pernikahan sesama jenis kelamin.

Oke, kali ini ane akan berpendapat bukan dari sudut pandang moral, etika atau agama karena setiap orang relatif sudah memiliki keyakinan dan standar moral, etika dan agama masing-masing sehingga mustahil untuk berargumentasi tentang keyakinan.

Kali ini mari kita bedah fenomena LGBT dari sisi Kemanusiaan.

Dari sisi kemanusiaan, kita sebagai manusia telah mewarisi naluri untuk bereproduksi sejak lahir. Itulah sebabnya mengapa dalam berhubungan seks terasa nikmat. Unsur rekreasi yang timbul pada saat manusia berhubungan seks memudahkan manusia untuk bereproduksi. Bayangkan apa jadinya bila rasa nikmat dalam seks tidak ada. Manusia tentu enggan untuk bereproduksi dan dampaknya tentu saja dapat menyebabkan spesies manusia punah. Demikian pula dengan aktivitas yang bertujuan untuk melestarikan hidup manusia, seperti makan, minum, jatuh cinta, bersin, tidur dsb. Otak dan hormon bekerja sama memberikan rasa nikmat dan atau perasaan positif sebagai reward dari aktivitas yang bertujuan untuk melanggengkan kehidupan manusia. Reproduksi sendiri bertujuan untuk memastikan bahwa kelangsungan spesies manusia tetap lestari selama-lamanya. Dan reproduksi hanya dapat terjadi apabila dilakukan oleh manusia yang berlainan jenis kelamin bukan yang sejenis.

Dalam teori survival of the fittest (seleksi alam), fakta menunjukan bahwa yang terkuat di alamlah yang dapat bertahan hidup. Maka, manusia dengan segala keterbatasannya secara naluriah akan selalu berlomba-lomba menjadi yang terkuat atau paling tidak bertahan agar ia tidak tersingkir oleh seleksi alam, atau kehidupan. Itulah salah satu sebab, mengapa wanita secara naluriah tertarik kepada Pria Alfa, pria yang kuat, unggul, dan menjadi pemimpin dari kelompoknya. Hal ini terjadi karena naluri tersebut sudah diwariskan dalam gen kita. Sehingga, secara sadar atau tidak, naluri untuk bereproduksi dan melestarikan spesiesnya selalu ada. Bahkan kalau bisa dengan pasangan yang terbaik sehingga secara naluriah ada harapan untuk menghasilkan keturunan yang terbaik.

Nah, ketika kaum LGBT atau penyuka seks sesama jenis kelamin ini lahir, maka sesungguhnya telah lahirlah anomali yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Hal ini terjadi karena pelaku seks sesama jenis kelamin pada akhirnya tidak akan dapat memiliki keturunan. Adopsi pun dilakukan dengan cara mengambil anak manusia yang lahir dari hasil reproduksi manusia lain jenis kelamin. Sehingga sesungguhnya penentangan atas LGBT ini (diluar etika, moral dan agama) muncul sebagai naluri yang sudah terwariskan dalam gen manusia. Bukan sesuatu yang dibuat-buat melainkan alamiah. Sebagai bagian dari insting manusia yang selalu muncul untuk memastikan agar spesies manusia tetap lestari dan bertahan selama-lamanya.

Itulah sebabnya, secara alamiah penentangan ini selalu muncul dari sejak awal hingga akhir zaman sepanjang umur umat manusia ada, setua munculnya anomali tersebut, karena gen untuk bertahan hidup dan bereproduksi selalu ada dalam setiap diri manusia.

Dalam perjalanan hidup umat manusia, memang ada ancaman lain yang jauh lebih masif dan berdampak luas. Seperti perang dan wabah penyakit ganas seperti flu, ebola, aids dsb yang dari segi angka memang lebih banyak mengurangi populasi manusia.

Akan tetapi, ancaman-ancaman terhadap kemanusiaan seperti : perang, penyakit, dsb yang secara alamiah dan naluriah selalu dikendalikan oleh umat manusia. Melalui sekelompok manusia yang diberikan kekuasaan dan mewakili suara manusia-manusia lainnya lalu secara sadar bersepakat untuk menghasilkan aturan-aturan yang menjamin keberlangsungan hidup umat manusia. Aturan-aturan inilah yang disebut Hukum. Salah satu produknya adalah Undang-Undang. Hukum yang diatur dalam Undang-Undang inilah yang pada akhirnya berperan dalam melestarikan umat manusia hingga dapat bertahan sampai saat ini, bahkan dirasa-rasa sepertinya hampir melebihi kapasitas ekosistemnya sendiri saat ini. Hukum lah yang berprestasi dalam hal ini. Order yang diciptakan oleh hukumlah yang untungnya mampu menjadi obat dari berbagai ancaman terhadap kemanusiaan.

Itu sebabnya mengapa ada Undang-Undang yang mengatur tentang pidana, jikalau seseorang membunuh, mencuri, merampok, memperkosa manusia lainnya ya dihukum. Karena perilaku seperti membunuh, mencuri, merampok, memperkosa dan perilaku yang melanggar hukum pidana itulah sesungguhnya ancaman terhadap keberlangsungan hidup umat manusia. Undang-Undang yang mengatur tentang kejahatan perang, walaupun pada kenyataannya tetap pemenang peranglah yang dianggap benar bukan yang sejatinya benar yang kemudian dinisbatkan benar, tetapi paling tidak ada hukum yang mengatur untuk memberikan sanksi kepada manusia yang membawa peperangan, kenapa? karena perang adalah ancaman terhadap keberlangsungan hidup umat manusia. Demikian pula Undang-Undang yang mengatur tentang karantina dan penanganan wabah.

Hukum yang diatur Undang-Undang inilah yang digunakan untuk 'memaksa' manusia sebagai bagian dari kontrak sosialnya untuk tunduk kepada kesepakatan bersama. Tujuan akhirnya demi apa? Sekali lagi demi kelangsungan hidup umat manusia.

Dengan demikian, dari sisi kemanusiaan, sudah sepatutnya perilaku-perilaku yang mengancam kelestarian umat manusia termasuk salah satu diantaranya adalah perilaku homoseksual itu diatur, dilarang dan diberikan sanksi jika dilanggar. Jika tidak, bisa kita saksikan sendiri, manusia itu bebas merdeka sebebas-bebasnya, jika akalnya tidak digunakan. Satu-satunya yang dapat membatasi kebebasan tersebut adalah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Dan inilah obat yang paling mujarab untuk memberikan terapi kaum LGBT. Namun yang jauh lebih penting dari itu ketika Undang-Undang yang mengatur sudah ada justru adalah kepada tindakan penegakan hukumnya.

Jika dikatakan bahwa pelaku homoseksual terlahir dalam keadaan demikian. Apa boleh dikata, pencilan memang selalu ada tetapi jumlahnya tidak masif. Bisa jadi memang ada bagian dari kaum LGBT itu yang memang sudah 'abnormal' sejak lahir? Namun ada berapa banyak? Lebih banyak mana dibandingkan mereka yang menjadi sakit akibat 'tertular' dalam perjalanan hidupnya? Bukankah lebih baik dicegah sedini mungkin sebelum menjadi wabah?

No comments:

Post a Comment